Monday, April 15, 2013

Kacamata Pilihan Ayah


Sudah lama Kakak mengeluhkan soal kacamatanya yang tidak nyaman lagi dikenakan. Mungkin minusnya sudah bertambah sehingga tidak cocok lagi menggunakan kacamata itu. Tapi sampai sekarang kakak belum juga mendapatkan penggantinya. Kayaknya, Ayah sedang sibuk sekali akhir-akhir ini. Makanya, belum juga sempat membawa Kakak ke optik.

“Gimana kalau kita lihat pilihan model yang Kakak sukai di internet…” begitu kata Ayah. “Nanti Ayah belikan frame-nya dulu. Setelah itu, kita ke optic untuk mengukur lensanya….” Lanjutnya.

Aneh kan?

Masak sih beli frame dulu, terus nanti balik lagi ke optic untuk memasang lensanya. Logikanya kan sekalian aja datang ke optic buat beli frame dan lensa itu sekaligus. Tapi emang Ayah suka aneh gitu. Buat semua orang dirumah sih sudah tidak aneh lagi. Karena kami tahu kalau Ayah suka yang aneh-aneh.

Keesokan harinya, Ayah beneran membawa frame kaca mata buat Kakak. Bagus banget sih. Tapi, Kakak nggak suka.

“Loh, ini kan sudah sesuai dengan model yang kita lihat di internet, Kak…” Ayah protes berat. Pilihan modelnya tidak diterima sama Kakak.

“Bukan yang ini Ayyaaaaah…” balas Kakak. “Kan udah Kakak bilangin yang nggak pake penyangga gini….” Katanya. Sambil menunjukkan dua benda oval yang biasa menempel di hidung kalau orang pakai kacamata.

“Hadduh Kakaaaaaak, semua kacamata ada penyangga hidungnya kan?” kata Ayah. “Kalau nggak pake penyangga gini mana bisa menempel dihidung. Bisa-bisa kacamatanya menggelosor nggak ada sangkutan….” Tambahnya. Perasaan Ayah aja kali. Gara-gara hidungnya tidak mancung.

Kakak berusaha mati-matian menjelaskan kepada Ayah bahwa penyangga kacamata itu ada dua macam. Ada yang berupa benda oval disangga kawat kecil, dan ada yang langsung menyatu dengan framenya. Nah, Kakak sukanya yang langsung menyatu itu.

“Eh, emang ada yang kayak gitu ya?” sambut Ayah. Emang deh Ayah ini ketinggalan zaman. Dia tahunya model kacamata itu seperti yang selama ini dipakainya saja. Makanya Ayah. Tidak boleh bersikukuh dengan kebenaran yang diyakininya sendirian.  Semoga saja sekarang Ayah sadar, bahwa dunia ini jauh lebih luas daripada yang diketahuinya. Ayah perlu membuka wawasan. Supaya tidak ngotot ketika sedang berdebat. Atau tidak lagi memaksakan kehendak kepada anak-anaknya.

Kayaknya, bukan hanya dirumah Ayah bersikap seolah-olah sudut pandangnya itu sudah benar-benar mencakup semua hal. Ayah bisa saja bersikap begitu juga dikantornya. Mungkin, kepada anak buahnya Ayah juga suka memaksakan sudut pandangnya. Ayah mengira itu yang terbaik buat anak buahnya. Padahal, belum tentu juga kan? Makanya Ayah, dengarkanlah apa yang dikatakan anak buah Ayah. Supaya Ayah bisa paham, apa yang sebenarnya mereka butuhkan.

“Ya sudahlah kalau begitu, sabar saja ya.” Ayah berkata lembut. “Nanti Ayah ganti deh dengan yang kamu mau…”Alhamdulillah. Ayah tidak egois dengan kemauannya sendiri. “Tapi nanti, kalau sudah ada rezeki lagi….” Tambahnya.

Kakak yang tadi sudah senang, jadi lemas lagi. Soalnya, tidak jelas. Kapan penggantinya akan diterima. Sedangkan Ayah bilang barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan. Untungnya Ayah sedang baik ketika itu. Beberapa hari kemudian, dibuatnya kejutan buat Kakak… Jeng jeng…. Kacamata baru!

Kakak tersenyum melihat kacamata itu. Ayah juga senang. ”Ayah itu baik banget ya…”  kata Kakak. Semua orang dirumah ikut senang. Tapi, rasa senang itu langsung buyar ketika Kakak berkata begini; “Tapi, ini bukan model yang kita sepakati waktu lihat di internet…..”

“Heleh.” Ayah terperanjat. “Ini sudah model paling cocok untuk gadis remaja seperti kamu lho Kak….” Katanya. “Penyangganya juga yang menyatu seperti yang kamu mau.”

Kasihan Ayah. Sudah cape-cape membelikannya dua kali untuk Kakak. Tapi kali ini juga tidak diterima lagi. Itulah Ayah. Niat baik pun, harus disertai dengan pengertian dong. Jangan karena niat Ayah baik, terus Ayah mengabaikan aspirasi orang lain. Kalau di rumah sih masih nggak apa-apa. Karena kita ini keluarga. Kalau keluarga kan saling mendukung dalam keadaan apapun. Tapi kalau hal itu Ayah lakukan diluar rumah. Di kantor. Atau tempat lainnya. Belum tentu Ayah dimaklumi seperti di rumah. Ayah. Bahkan niat yang paling baik pun harus didukung oleh kesediaan Ayah untuk memahami orang lain.

“Sudahlah. Ayah bisa bangkrut kalau begini…” ketus Ayah. “Pokoknya Kakak pake frame itu. Suka atau tidak. Terserah.” Nah tuch kan. Akhirnya, kesal juga. “Pilih salah satu dari kedua frame itu. Titik.” Keluar lagi deh gaya otoriternya.

Kakak terdiam untuk beberapa saat. Lalu, “Ya udah deh.” Katanya dengan suara yang lemah. “Kakak ambil yang ini aja,” katanya. Sambil menunjuk. Tapi nggak jelas juga menunjuk yang mana. Hanya Kakak sendiri yang memahami perasaannya. Sedangkan orang lain, hanya bisa ikut berempati. Tapi justru empati itulah yang diperlukan oleh seseorang dari orang-orang disekelilingnya kan?. Kalau tidak ada empati, bagaimana kita bisa saling menghibur dan membesarkan hati?

“Ayah…” kata Abang.

Ayah langsung menoleh kearahnya.

“Seandainya Ayah berada pada posisi Kakak,” lanjutnya. “Apa yang Ayah rasakan?”

Pertanyaan itu langsung membuat Ayah terhenyak. Nggak ada satu kata pun yang terucap untuk beberapa saat. Ayah. Benar-benar tertohok dengan pertanyaan itu. “Apa yang Ayah rasakan?” sekali lagi Abang bertanya kepada Ayah.

Hening sejenak. Lalu…

“B-baiklah.” Suara Ayah terdengar agak bergetar. “Hari minggu depan ini, kita pergi sama-sama untuk membeli kacamatanya ya Kak…..”

Kata-kata Ayah yang terakhir itu membuat semua orang gantian tertegun. Suka sih. Tapi nggak nyangka aja Ayah bisa berubah sedrastis itu. Sebuah perubahan yang melegakan semua orang. Semoga saja, di kantor pun Ayah bisa mengubah sikap dan cara pandangnya terhadap sesuatu. Sehingga Ayah bisa membangun hubungan yang lebih baik lagi dengan anak buahnya.

Sekarang, Kakak sudah punya kacamata pilihannya sendiri. Kacamata yang disukainya. Yang benar-benar sesuai dengan keinginannya. Dan Kakak, bahagia sekali karenanya. Lebih rajin belajar. Dan lebih sayang kepada Ayah.

Semoga saja.... Ayah bisa membawa pengalamannya ini ke kantornya. Supaya Ayah bisa lebih mendengarkan isi hati dan aspirasi anak buahnya. Karena apapun yang Ayah lakukan untuk mereka, akan sia-sia saja jika tidak seusai dengan harapan mereka. Nggak rugi kok memahami mereka itu. Justru yang rugi itu adalah ketika apa yang dilakukan untuk mereka hanya didasarkan sudut pandang Ayah. Seperti ruginya Ayah ketika membelikan dua pasang kacamata untuk Kakak yang hanya bagus menurut Ayah saja.

Jiwa dan kepala kita berbeda. Begitu pula dengan isi hati dan jalan pikiran kita.

Maka Ayah. Belajarlah untuk memahami orang lain. Agar apa yang Ayah lakukan lebih mengena. Lebih sejalan dengan cara berpikir mereka. Dan lebih mampu menyentuh relung kalbu mereka. Karena Ayah. Tuhan pun sudah menciptakan kita dengan keunikan masing-masing. Kita berkewajiban untuk menghargai hasil karya Tuhan itu melalui penghargaan atas keberagaman sudut pandang. Pikiran. Perasaan. Dan preferensi masing-masing. Ketika kita bisa begitu Ayah. Maka hidup kita semua menjadi sempurna. Karena kita, ditakdirkan Tuhan untuk saling memahami. Dan saling melengkapi. Bisakah? Ayah.


Technorati Tags:

No comments: