Showing posts with label Article. Show all posts
Showing posts with label Article. Show all posts

Monday, April 15, 2013

Kacamata Pilihan Ayah


Sudah lama Kakak mengeluhkan soal kacamatanya yang tidak nyaman lagi dikenakan. Mungkin minusnya sudah bertambah sehingga tidak cocok lagi menggunakan kacamata itu. Tapi sampai sekarang kakak belum juga mendapatkan penggantinya. Kayaknya, Ayah sedang sibuk sekali akhir-akhir ini. Makanya, belum juga sempat membawa Kakak ke optik.

“Gimana kalau kita lihat pilihan model yang Kakak sukai di internet…” begitu kata Ayah. “Nanti Ayah belikan frame-nya dulu. Setelah itu, kita ke optic untuk mengukur lensanya….” Lanjutnya.

Aneh kan?

Masak sih beli frame dulu, terus nanti balik lagi ke optic untuk memasang lensanya. Logikanya kan sekalian aja datang ke optic buat beli frame dan lensa itu sekaligus. Tapi emang Ayah suka aneh gitu. Buat semua orang dirumah sih sudah tidak aneh lagi. Karena kami tahu kalau Ayah suka yang aneh-aneh.

Keesokan harinya, Ayah beneran membawa frame kaca mata buat Kakak. Bagus banget sih. Tapi, Kakak nggak suka.

“Loh, ini kan sudah sesuai dengan model yang kita lihat di internet, Kak…” Ayah protes berat. Pilihan modelnya tidak diterima sama Kakak.

“Bukan yang ini Ayyaaaaah…” balas Kakak. “Kan udah Kakak bilangin yang nggak pake penyangga gini….” Katanya. Sambil menunjukkan dua benda oval yang biasa menempel di hidung kalau orang pakai kacamata.

“Hadduh Kakaaaaaak, semua kacamata ada penyangga hidungnya kan?” kata Ayah. “Kalau nggak pake penyangga gini mana bisa menempel dihidung. Bisa-bisa kacamatanya menggelosor nggak ada sangkutan….” Tambahnya. Perasaan Ayah aja kali. Gara-gara hidungnya tidak mancung.

Kakak berusaha mati-matian menjelaskan kepada Ayah bahwa penyangga kacamata itu ada dua macam. Ada yang berupa benda oval disangga kawat kecil, dan ada yang langsung menyatu dengan framenya. Nah, Kakak sukanya yang langsung menyatu itu.

“Eh, emang ada yang kayak gitu ya?” sambut Ayah. Emang deh Ayah ini ketinggalan zaman. Dia tahunya model kacamata itu seperti yang selama ini dipakainya saja. Makanya Ayah. Tidak boleh bersikukuh dengan kebenaran yang diyakininya sendirian.  Semoga saja sekarang Ayah sadar, bahwa dunia ini jauh lebih luas daripada yang diketahuinya. Ayah perlu membuka wawasan. Supaya tidak ngotot ketika sedang berdebat. Atau tidak lagi memaksakan kehendak kepada anak-anaknya.

Kayaknya, bukan hanya dirumah Ayah bersikap seolah-olah sudut pandangnya itu sudah benar-benar mencakup semua hal. Ayah bisa saja bersikap begitu juga dikantornya. Mungkin, kepada anak buahnya Ayah juga suka memaksakan sudut pandangnya. Ayah mengira itu yang terbaik buat anak buahnya. Padahal, belum tentu juga kan? Makanya Ayah, dengarkanlah apa yang dikatakan anak buah Ayah. Supaya Ayah bisa paham, apa yang sebenarnya mereka butuhkan.

“Ya sudahlah kalau begitu, sabar saja ya.” Ayah berkata lembut. “Nanti Ayah ganti deh dengan yang kamu mau…”Alhamdulillah. Ayah tidak egois dengan kemauannya sendiri. “Tapi nanti, kalau sudah ada rezeki lagi….” Tambahnya.

Kakak yang tadi sudah senang, jadi lemas lagi. Soalnya, tidak jelas. Kapan penggantinya akan diterima. Sedangkan Ayah bilang barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan. Untungnya Ayah sedang baik ketika itu. Beberapa hari kemudian, dibuatnya kejutan buat Kakak… Jeng jeng…. Kacamata baru!

Kakak tersenyum melihat kacamata itu. Ayah juga senang. ”Ayah itu baik banget ya…”  kata Kakak. Semua orang dirumah ikut senang. Tapi, rasa senang itu langsung buyar ketika Kakak berkata begini; “Tapi, ini bukan model yang kita sepakati waktu lihat di internet…..”

“Heleh.” Ayah terperanjat. “Ini sudah model paling cocok untuk gadis remaja seperti kamu lho Kak….” Katanya. “Penyangganya juga yang menyatu seperti yang kamu mau.”

Kasihan Ayah. Sudah cape-cape membelikannya dua kali untuk Kakak. Tapi kali ini juga tidak diterima lagi. Itulah Ayah. Niat baik pun, harus disertai dengan pengertian dong. Jangan karena niat Ayah baik, terus Ayah mengabaikan aspirasi orang lain. Kalau di rumah sih masih nggak apa-apa. Karena kita ini keluarga. Kalau keluarga kan saling mendukung dalam keadaan apapun. Tapi kalau hal itu Ayah lakukan diluar rumah. Di kantor. Atau tempat lainnya. Belum tentu Ayah dimaklumi seperti di rumah. Ayah. Bahkan niat yang paling baik pun harus didukung oleh kesediaan Ayah untuk memahami orang lain.

“Sudahlah. Ayah bisa bangkrut kalau begini…” ketus Ayah. “Pokoknya Kakak pake frame itu. Suka atau tidak. Terserah.” Nah tuch kan. Akhirnya, kesal juga. “Pilih salah satu dari kedua frame itu. Titik.” Keluar lagi deh gaya otoriternya.

Kakak terdiam untuk beberapa saat. Lalu, “Ya udah deh.” Katanya dengan suara yang lemah. “Kakak ambil yang ini aja,” katanya. Sambil menunjuk. Tapi nggak jelas juga menunjuk yang mana. Hanya Kakak sendiri yang memahami perasaannya. Sedangkan orang lain, hanya bisa ikut berempati. Tapi justru empati itulah yang diperlukan oleh seseorang dari orang-orang disekelilingnya kan?. Kalau tidak ada empati, bagaimana kita bisa saling menghibur dan membesarkan hati?

“Ayah…” kata Abang.

Ayah langsung menoleh kearahnya.

“Seandainya Ayah berada pada posisi Kakak,” lanjutnya. “Apa yang Ayah rasakan?”

Pertanyaan itu langsung membuat Ayah terhenyak. Nggak ada satu kata pun yang terucap untuk beberapa saat. Ayah. Benar-benar tertohok dengan pertanyaan itu. “Apa yang Ayah rasakan?” sekali lagi Abang bertanya kepada Ayah.

Hening sejenak. Lalu…

“B-baiklah.” Suara Ayah terdengar agak bergetar. “Hari minggu depan ini, kita pergi sama-sama untuk membeli kacamatanya ya Kak…..”

Kata-kata Ayah yang terakhir itu membuat semua orang gantian tertegun. Suka sih. Tapi nggak nyangka aja Ayah bisa berubah sedrastis itu. Sebuah perubahan yang melegakan semua orang. Semoga saja, di kantor pun Ayah bisa mengubah sikap dan cara pandangnya terhadap sesuatu. Sehingga Ayah bisa membangun hubungan yang lebih baik lagi dengan anak buahnya.

Sekarang, Kakak sudah punya kacamata pilihannya sendiri. Kacamata yang disukainya. Yang benar-benar sesuai dengan keinginannya. Dan Kakak, bahagia sekali karenanya. Lebih rajin belajar. Dan lebih sayang kepada Ayah.

Semoga saja.... Ayah bisa membawa pengalamannya ini ke kantornya. Supaya Ayah bisa lebih mendengarkan isi hati dan aspirasi anak buahnya. Karena apapun yang Ayah lakukan untuk mereka, akan sia-sia saja jika tidak seusai dengan harapan mereka. Nggak rugi kok memahami mereka itu. Justru yang rugi itu adalah ketika apa yang dilakukan untuk mereka hanya didasarkan sudut pandang Ayah. Seperti ruginya Ayah ketika membelikan dua pasang kacamata untuk Kakak yang hanya bagus menurut Ayah saja.

Jiwa dan kepala kita berbeda. Begitu pula dengan isi hati dan jalan pikiran kita.

Maka Ayah. Belajarlah untuk memahami orang lain. Agar apa yang Ayah lakukan lebih mengena. Lebih sejalan dengan cara berpikir mereka. Dan lebih mampu menyentuh relung kalbu mereka. Karena Ayah. Tuhan pun sudah menciptakan kita dengan keunikan masing-masing. Kita berkewajiban untuk menghargai hasil karya Tuhan itu melalui penghargaan atas keberagaman sudut pandang. Pikiran. Perasaan. Dan preferensi masing-masing. Ketika kita bisa begitu Ayah. Maka hidup kita semua menjadi sempurna. Karena kita, ditakdirkan Tuhan untuk saling memahami. Dan saling melengkapi. Bisakah? Ayah.


Technorati Tags:

Wednesday, September 7, 2011

Bersaing Dengan Teman Secara Sportif

 

“Sesama bis kota dilarang saling mendahului,” dulu dikaca belakang bis umum selalu ada tulisan seperti itu. Saya selalu tergelitik setiap kali ingat kalimat itu. Mengapa ‘sesama bis kota’, ya? Tapi benar juga, soalnya bis kota kan tidak mungkin saling mendahului dengan kereta api. Apalagi dengan pesawat terbang. Meski sekarang sudah tidak ada lagi tulisan seperti itu, tetapi tidak berarti kalimat itu tidak relevan lagi. Khususnya bagi kita yang bukan pengemudi bis kota. Lho, kok kita? Iya, karena perilaku ‘mengemudi’ ugal-ugalan yang kita lakukan dalam mengarungi roda kehidupan sering jauh lebih parah dari persaingan antar bis kota. Persis seperti bis kota yang bersaing dengan sesama bis kota, kita hanya bersaing dengan sesama kita juga. Dan, persaingan kita sering dikasih bonus berupa rasa iri didalam hati.

Persaingan terjadi dimana-mana. Di panggung politik. Di lingkungan tempat tinggal. Di kantor. Dimana saja. Zaman sekarang, kita sudah jarang melihat persaingan yang sportif. Contoh tidak sportif yang paling buruk ada di panggung politik yang penuh dengan intrik. Disusul oleh persaingan dikantor yang sering dicederai oleh manuver-manuver kotor. Di lapangan olah raga, sesekali kita juga melihat ada noda. Mungkin sudah saatnya kita galakan lagi semangat bersaing secara sportif. Bagi kebanyakan orang sportivitas itu bukan dalam konteks panggung politik atau lapangan olah raga, melainkan dalam persaingan dengan teman di kantor. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar bersaing dengan teman di kantor secara sportif, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intellligence berikut ini:

1. Mencari kelebihan sang pesaing. Dalam bersaing, kebanyakan orang gemar mencari-cari kesalahan orang lain. Padahal, kesalahan orang lain sama sekali tidak memberi energy positif bagi diri kita. Belajarlah untuk mencari kelebihan dan keunggulan orang lain. Dengan begitu kita akan semakin termotivasi untuk terus meningkatkan diri. Inti dari sebuah persaingan bukan sekedar bisa ‘meraih’ sesuatu yang diperebutkan, melainkan ‘bisa melakukan apa’ dengan sesuatu yang kita raih itu. Setelah meraihnya, kita bisa apa. Salah satu sumber kekecewaan kita kepada para ‘juara’ adalah ketika kita tahu bahwa setelah memenangkan persaingan itu, ternyata sang juara tidak bisa melakukan sesuatu yang kita harapkan. Maka ketika kita yang menjadi juaranya, orang lain juga memiliki tuntutan yang sama kepada kita. Hanya jika kita benar-benar ‘mampu’ saja orang lain akan menghargai ‘kemenangan’ kita. Jika tidak? Mereka akan berpaling kepada orang lain sekalian berharap kita segera tergantikan. Maka carilah kelebihan yang dimiliki oleh orang lain. Dan jadikan hal itu motivasi untuk terus meningkatkan kualitas diri.

2. Menggandeng tangan sang pesaing. Dijalan-jalan, sekarang kita sudah mulai melihat banyak bis gandengan. Ada 2 bis yang berjalan bersama-sama. Dengan bis gandeng itu, lebih banyak penumpang yang bisa diangkut dalam satu waktu. Lebih sedikit bahan bakar yang dihabiskan. Dan lebih efisien tenaga sopir yang dikeluarkan. Ini adalah symbol indahnya sinergi yang bisa kita bangun dengan sesama pesaing kita. Mari kita tengok teman-teman yang menjadi pesaing terkuat di kantor. Bagaimana kalau kita konversi saja energy untuk saling menyalip itu dengan kesediaan untuk berkolaborasi. Dijamin, manfaat yang bisa kita kontribusikan kepada perusahaan akan jauh lebih baik dibandingkan dengan ketika kita sama-sama ngotot untuk saling sikut. Tapi kan jabatan yang diperebutkan hanya ada satu. Yang diperlukan oleh perusahaan bukanlah sekedar kemampuan untuk mengalahkan pesaing. Tetapi ada soft skill yang jarang dimiliki orang namun sangat penting, yaitu; ‘mengelola kekuatan orang lain’. Ketika Anda mendemonstrasikan kemauan dan kemampuan untuk berkolaborasi dengan pesaing terkuat Anda; maka Anda sudah menunjukkan kemampuan langka itu.

3. Berikan pujian yang tulus kepada pesaing. Saat bersaing, kita sering enggan untuk memberi pujian kepada lawan. Padahal, pujian memberikan efek energy positif bagi kedua belah pihak. Lebih dari itu, pujian tulus yang kita lontarkan bagi orang lain mengundang simpati pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan secara langsung. Jika saya memuji Anda dengan tulus hati, maka bukan hanya Anda yang bisa merasakan ketulusan saya. Orang-orang lain yang melihat saya memuji Anda pun merasakan hal yang sama. Sebagai bonusnya, orang lain itu mempunyai kesan yang positif terhadap saya. Sama halnya jika pujian atau kredit poin tulus itu Anda yang memberikan kepada pesaing Anda. Dan biarkan orang lain mengetahui Anda melakukan itu. Maka selain Anda bisa membangun hubungan emosi positif dengan pesaing Anda, maka orang-orang lain yang ‘berada di luar arena’ akan memberikan simpatinya kepada Anda. Bagaimana jika pujian itu malah membuat pesaing Anda semakin besar kepala? Bagus. Karena semua orang akan semakin tahu kualitas yang sesungguhnya. Bukankah orang menyukai sifat sportif dan ketulusan?

4. Menyokong kemajuan pesaing. Menjegal langkah orang lain? Ah, itu sudah terlampau biasa kita temukan. Selain bukan perilaku bermartabat, itu juga tidak menunjukkan keunggulan apa-apa. Kualitas kepemimpinan seseorang justru terlihat dari kemampuannya untuk menyokong kemajuan orang lain. Mengapa harus begitu? Karena menjadi pemimpin adalah tentang bagaimana membantu orang-orang yang kita pimpin maju lebih pesat dan mengembangkan dirinya lebih cepat. Mengapa banyak pemimpin yang tidak mampu untuk mengembangkan bawahannya? Karena sebelum menjadi pemimpin mereka tidak belajar menyokong kemajuan orang lain. Maka jadikanlah pesaing terdekat Anda sebagai ‘murid’ yang bisa Anda gunakan untuk berlatih mengembangkan orang lain. Jika memang dia pesaing hebat, tentu dia punya bakat. Sehingga Anda dijamin akan berhasil mengembangkannya. Dan itu adalah prestasi kepemimpinan yang layak Anda rayakan. Lalu Anda pikirkan lagi, “aspek apa lagi yang bisa Anda kembangkan dari pesaing yang satu ini?” Secara tidak langsung, Anda telah menempa diri sendiri menjadi seorang pemimpin sejati.

5. Adopsi kualitas yang mutlak harus dimiliki seorang pemimpin. Ada satu hal yang sulit untuk dipahami, namun harus kita terima dengan lapang dada. Apakah itu? Itu adalah fakta bahwa yang mendapatkan promosi di kantor, tidak selalu merupakan orang yang paling terampil. Tidak juga selalu orang yang pencapaian kerjanya paling tinggi. Misalnya, orang yang menjadi Sales Manager tidaklah selalu orang yang persentase pencapaian salesnya paling tinggi. Mungkin hanya 101% saja. Fakta ini sering membuat mereka yang meraih sales 110% uring-uringan. Mengapa? Karena mereka tidak faham bahwa untuk memimpin, dibutuhkan banyak aspek. Bukan sekedar angka-angka diatas kertas. Lihatlah point 1,2,3 dan 4 yang baru kita bahas. Itu adalah aspek-aspek lain yang mutlak dibutuhkan dari seorang pemimpin. Karena kepemimpinan bukanlah soal penguasaan aspek-aspek teknis belaka. Melainkan sebuah seni mengelola orang lain, mengenali potensi-potensi mereka, dan menggunakannya untuk mencapai tujuan perusahaan.

Tanpa disadari, kita sering menganggap teman sebagai ancaman. Ambisi-ambisi pribadi kita sering membisikan jika mereka bisa menjadi penghalang atas apa yang kita inginkan. Mulai sekarang, mari kita ubah cara pandang terhadap para pesaing. Bantulah mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Tolonglah mereka untuk bisa menghasilkan kinerja yang lebih tinggi. Doronglah mereka untuk terus berprestasi. Kembangkanlah mereka, karena itulah hakekat kemimpinan yang harus Anda miliki didalam diri Anda.

Referensi

Thursday, August 11, 2011

Terbang Bersama Sang Layang-layang




Hore, Hari Baru! Teman-teman.
“Biarkan hidup mengalir seperti air,” begitulah nasihat yang sering kita dengarkan. Namun, ada kalanya aliran air tidak membawa kita ke tempat yang semestinya. Maka mulailah kita mempertanyakan banyak hal. Sewaktu dihadapkan pada situasi sulit, kita mempertanyakan; mengapa Tuhan membiarkan saya mengalami ini? Saat dituntut untuk mengikuti aturan, kita menggugat; mengapa saya tidak diberi kebebasan? Ketika mengalami kehilangan, kita menghujat; mengapa saya tidak bisa memilikinya selamanya? Kadang kita merasa bosan mengikuti aliran air, sehingga kemudian kita bertanya; bisakah kita terbang saja?
Salah satu mimpi masa kecil yang sering hadir dalam tidur saya adalah saat bermain layang-layang. Tadi malam pun saya memimpikan hal itu lagi. Pagi ini saya bertanya-tanya, mengapa saya sering memimpikan tentang layang-layang? Saya tidak bisa melepaskan diri dari pertanyaan itu meski telah berusaha untuk melupakannya. Di kamar mandi, di ruang tivi, di depan komputer. Kepala saya hanya dipenuhi oleh pertanyaan;’mengapa harus bermimpi tentang layang-layang?” Saya belum benar-benar terpuaskan hingga menemukan bahwa layang-layang menyembunyikan berbagai isyarat tentang kehidupan. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar terbang bersama sang layang-layang; saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:


1. Untuk bisa terbang tinggi kita membutuhkan tempaan. Layang-layang hanya bisa terbang jika ada angin yang menerpanya. Coba ingat-ingat kembali, bukankah sewaktu kecil dulu Anda kecewa jika disore hari tidak ada angin untuk menerbangkan layang-layang Anda? Hidup kita kira-kira juga demikian. Angin yang bertiup kencang itu tidak ubahnya dengan terpaan yang menempa hidup kita. Kita sering mengira bahwa kehidupan yang serba tenang itu jauh lebih baik. Lebih nyaman mungkin iya. Tetapi lebih baik? Belum tentu. Justru dalam kehidupan yang serba tenang dan nyaman, kita tidak terdorong untuk mengerahkan segenap kemampuan yang kita miliki. Bayangkan ketika segala sesuatunya dalam hidup Anda sedang baik-baik saja. Bukankah Anda tidak tertarik untuk berkeringat lebih banyak? Padahal, boleh jadi dengan berkeringat itulah justru kegigihan diri Anda semakin teruji. Rasa syukur Anda tergali. Dan nilai empati Anda kepada orang lain menjadi semakin tereksplorasi. Layang-layang membutuhkan terpaan angin untuk bisa terbang tinggi. Kita, membutuhkan tempaan dan ujian kehidupan untuk bisa naik kepada tingkatan nilai pribadi yang lebih tinggi. Maka saat memasuki masa-masa yang penuh dengan ujian dan cobaan, mungkin kita perlu lebih banyak bersyukur. Karena kita punya kesempatan untuk bisa terbang lebih tinggi.
2. Untuk bisa bertahan kita membutuhkan kendali dan aturan. Apa yang terjadi jika benang itu terputus? Layang-layang Anda akan hilang, bukan? Dia membutuhkan benang yang mengikatnya untuk bisa terbang dengan baik. Benang yang mengendalikan dan memberinya arah untuk berbelok ke kanan, ke kiri, atau bahkan berputar. Pendek kata, layang-layang itu membutuhkan alat pengendali yang mengaturnya. Bayangkan jika hidup kita dibiarkan tanpa kendali. Kita mengira bisa terbang bebas? Tidak. Justru kita membutuhkan sesuatu yang mengendalikan hidup kita. Sistem nilai, tatanan sosial, struktur kemasyarakatan, atau seperangkat peraturan yang mesti kita patuhi. Keliru jika kita mengira hidup akan lebih baik tanpa aturan. Mengapa? Karena orang-orang kuat cenderung bernafsu untuk mengambil keuntungan paling banyak. Sedangkan orang-orang lemah cenderung diinjak-injak. Tanpa aturan, kita cenderung bertindak sesuka hati. Yang penting tujuan kita tercapai. Perhatikan kembali layang-layang yang talinya terputus itu. Apakah dia terbang makin tinggi? Mungkin. Ketika angin memihak kepadanya. Tetapi setelah angin berhenti bertiup, dia akan jatuh tanpa ada yang memperdulikannya lagi. Seperti itulah hidup kita, jika tanpa kendali dan aturan.
3. Hidup adalah tentang menarik dan mengulur. Apa asyiknya bermain layang-layang jika dia hanya dibiarkan diam. Kenikmatannya justru kita rasakan ketika kita menarik dan mengulur benang nilon yang mengikat layang-layang itu. Dengan tarikan itu dia bisa berbalik arah atau melakukan manuver-manuver yang mengagumkan. Lalu kita ulur lagi, tarik lagi, dan ulur lagi. Kadang dia menjauh, kadang mendekat lagi. Hidup kita tampaknya juga begitu. Ada begitu banyak hal dalam hidup kita yang pergi menjauh. Kita sering sedih karenanya. Ada banyak hal lain yang datang mendekat. Kita sering merasa berat menerimanya. Padahal hidup memang tentang mendekat dan menjauh. Datang dan pergi. Timbul dan tenggelam. Begitulah hidup yang sesempurna-sempurnanya. Yaitu hidup yang memiliki kelengkapan dinamika yang dimainkannya. Tidak ada orang yang hidupnya bahagia terus, percayalah. Bahkan mereka yang hartanya melimpah ruah. Warna dalam kehidupan tidak didapatkan dari kehidupan yang serba nikmat. Faktanya, kenikmatan yang kita miliki sering kehilangan makna jika kita tidak pernah tahu ‘tidak nikmat’ itu seperti apa. Sesuap nasi yang kita kunyah, akan terasa lebih nikmat jika kita baru saja merasakan betapa perihnya tidak memiliki makanan. Nikmat sehat tubuh ini justru mulai benar-benar kita sadari setelah kita diberi sakit. Keindahan hidup terletak pada kombinasi tarik dan ulur itu.
4. Belajar untuk terbang dalam keindahan. Dulu, bentuk layang-layang tidak terlalu banyak. Variasinya paling-paling pada sirip dan ekornya yang ditambahi asesoris lebih panjang. Sekarang, kita bisa melihat layang-layang dalam kreasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ada yang berupa pesawat terbang, naga, bahkan kapal pesiar. Banyak hal baru disekitar kita. Kita sering tidak menyadari jika orang-orang disekitar kita terus berkreasi tanpa henti. Kita sering merasa semua yang ada pada diri kita sudah menjadi yang terbaik, padahal kita tidak memperhatikan kemajuan seperti apa yang telah berhasil diraih oleh orang lain. Pergilah ke festival layang-layang. Disana akan Anda temukan berbagai macam kreasi yang mencengangkan. Pergilah ke komunitas yang berisi orang-orang kreatif, maka kita akan menyadari bahwa kita harus lebih kreatif lagi. Bertemulah dengan orang-orang baik, maka kita akan terdorong untuk menjadi lebih baik. Mereka bukan sekedar mengajak kita untuk terbang, melainkan mengajarkan bagaimana caranya untuk terbang dalam keindahan perangai, dan perilaku positif lainnya.
5. Terbangkan layang-layangmu setinggi-tingginya. Saat bermain layang-layang, kita selalu ingin menerbangkannya setinggi mungkin. Kita biarkan mereka naik menuju ke langit tertinggi. Semakin tinggi, semakin baik. Mengapa begitu? Karena sudah menjadi sifat dasar kita untuk menyukai sesuatu yang bernilai tinggi. Kualitas tinggi. Daya juang tinggi. Nilai-nilai pribadi yang tinggi. Akhlak dan moral yang tinggi. Bahkan kita menyebut perilaku manusia yang menyerupai binatang sebagai moral yang rendah. Mengumbar nafsu. Tidak tahu malu. Serakah. Semuanya tidak cocok dengan cetak biru kepribadian kita. Secara inheren kita memahami bahwa manusia diciptakan dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahluk lainnya. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya jika perilaku dan tindak tanduk kita mencerminkan hal itu. Jika kita tergoda untuk melakukan perbuatan ‘mirip binatang’, ingatlah bahwa kita diciptakan dengan derajat yang lebih tinggi dari mereka. Pantas jika kita belajar membebaskan diri dari perilaku dan nafsu hewani. Karena Tuhan, telah menciptakan kita dalam derajat dan tingkatan yang jauh lebih tinggi. Pantasnya, dengan semua ketinggian yang sudah Tuhan anugerahkan itu, kita bisa belajar untuk semakin mempertinggi nilai kemanusiaan kita. Karena Tuhan itu tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Dan Dia, hanya bisa dicapai oleh pribadi-pribadi yang memiliki akhlak mulia yang tercermin dalam perilakunya yang bernilai tinggi.
Setiap hari, kita berhadapan dengan tempaan dan terpaan angin kehidupan. Kita sering ingin berhenti karena jengah menghadapi cobaan yang datang bertubi-tubi. Padahal, cobaan yang kita hadapi itu adalah jalan menuju kepada tingkatan nilai pribadi yang lebih tinggi. Guru kehidupan saya pernah mengingatkan;”Janganlah engkau mengira dirimu sebagai orang yang baik, padahal Tuhan belum mengujimu dengan cobaan-cobaan yang menyulitkan.” Guru saya benar. Betapa mudahnya untuk menjadi baik ketika keadaan sedang serba indah. Namun, cobalah sesekali membayangkan seandainya kehidupan kita tidak sebaik itu. Apakah kita bisa menjadi pribadi yang juga baik? Semoga kita dapat menjalani setiap ujian dan cobaan hidup dengan sebaik-baiknya. Dan kita lulus untuk naik ke tingkatan yang lebih tinggi.
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman - 2 Agustus 2011

Hukum Tabur Tuai

Ingatlah hukum dasar ini, dalam kehidupanmu  Barang siapa yang menanam, dia pula yang akan menuai