Saturday, October 27, 2012

Mengatasi Perasaan Kecil


Kalau bertemu dengan orang-orang hebat, kadang kita merasa kecil ya. Begitu pula ketika mendengar kesuksesan menakjubkan orang lain, kita rasanya menjadi semakin mengecil. Saat seseorang menceritakan betapa mudahnya mendapatkan sesuatu. Lalu memikirkan diri kita sendiri. Oh, kita baru bisa mendapatkan sejumlah itu setelah kerja banting tulang selama berbulan-bulan. Kok orang itu bisa meraihnya hanya dalam beberapa jam saja. Duh, tubuh kita sepertinya semakin mengecil lagi. Bukan tubuh fisik kita yang mengecil. Tetapi mental kita yang semakin mengerdil. Karena kenyataannya, ukuran pakaian kita sama dari sebelumnya. Begitu pula dengan bobotnya. Sama. Tapi mengapa kok kita merasa kecil?

Aneh ya kita ini. Kalau membaca kisah sukses orang lain, mestinya kita semakin bersemangat. Ketika mendengarkan seseorang menceritakan kehebatan-kehebatan dirinya, mestinya kita termotivasi untuk bisa meraih kesuksesan yang sama. Minimal mendekatinya. Bahkan sekalipun yang kita dengar itu mungkin saja lebih banyak membualnya daripada aktualnya, kita semestinya bisa lebih tergerak untuk mengambil tindakan agar bisa meraih kerberhasilan yang lebih besar lagi dari yang selama ini biasa kita dapatkan. Kenyataannya, tidak selalu begitu. Kita malah cenderung pergi ke pojokan sepi, lalu bertanya; "Tuhan kenapa saya tidak sukses seperti orang itu?"

Kita sering mendengar nasihat bahwa tidak ada yang salah kok dengan menjadi kecil. Pasir, misalnya. Kecil, tapi tanpa pasir yang kecil itu; bagaimana orang membangun gedung megah. Baut juga kecil. Tapi tanpa baut, mobil mewah seharga milyaran pun tidak kebayang bagaimana dibuatnya. Masalahnya, jika bisa menjadi komponen yang besar, kenapa mesti memilih jadi kecil? Bukankah orang yang berpenghasilan lebih besar, bisa melakukan lebih banyak hal besar? Bisa menyumbang lebih besar? Bisa memberi lebih banyak? Pokoknya, kalau kita bisa menjadi orang besar; kenapa kita ditakdirkan kecil!. Kira-kira begitulah yang kita yakini. Makanya, meskipun sudah hidup berkecukupan, kita tetap saja merasa kecil ketika ada orang lain yang melampaui apa yang bisa kita raih. Jadi maaf, untuk saat ini; nasihat seperti pasir dan baut itu tidak bisa masuk. Tidak bisa menyembuhkan kegundahan hati.  

Adakah sesuatu yang salah dengan diri kita? Mungkin. Tapi, daripada mencari apa yang salah, mendingan kita merenungkan; bagaimana kita bisa sampai kepada kegundahan serupa itu. Lalu mari sama-sama menemukan factor penyembuhnya. Mari, saya ajak Anda coba merunutnya bersama saya.

Misalnya saja. Coba perhatikan lagi; Apakah Anda lebih sukses daripada teman-teman sekolah Anda? Jika Anda bisa membaca artikel ini, kemungkinan besar Anda lebih sukses daripada kebanyakan teman-teman Anda di sekolah. Kenapa saya yakin soal itu? Karena tidak sembarang orang bisa membaca tulisan saya. Mungkin memang Anda bukan orang yang paling berhasil diantara semua orang satu sekolahan. Tapi Anda, kemungkinan besar termasuk salah satu orang besar, dimata teman-teman sekolah Anda.

Jika Anda tidak percaya, coba telusuri dimana sekarang teman-teman sekolah Anda berada. Cari tahu bagaimana pencapaian hidup mereka. Lihat bagaimana mereka menjalani hidup. Apakah kehidupan Anda kalah baik daripada kehidupan mereka? Kemungkinan besarnya adalah; kehidupan Anda jauh lebih baik daripada kehidupan mayoritas teman-teman sekolah Anda. Dan dimata mereka, Anda termasuk orang besar.

Tapi mengapa kita masih merasa kecil saja?  Sebenarnya, kita tidak selalu berada pada perasaan seperti itu, kok. Kita merasa kecil hanya ketika kita bertemu dengan orang yang jauh lebih besar dari diri kita. Kita merasa kerdil, setelah membaca sharing seseorang yang jauh lebih banyak penghasilannya dari kita. Padahal, sebelum kita mendengar atau membaca celoteh itu, hidup kita baik-baik saja kok. Kemarin, hidup Anda terasa nikmat sekali. Tapi pagi ini ketika Anda membaca kisah fantastis tentang pencapaian seseorang yang Anda kenal, tiba-tiba saja Anda merasa kebanting. Dan Anda berguman; "Iya ya… kenapa pencapaian saya masih begini-begini saja…." Padahal, kenyataannya adalah; pencapaian kita sudah jauh lebih baik daripada mayoritas teman-teman sekolah kita.

Sahabatku, mari perhatikan sekali lagi kedua kondisi itu. Satu ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain yang pencapaian tidak setinggi kita. Dan dua, ketika kita membandingkan diri dengan seseorang yang pencapaiannya jauh melampaui kita. Semua perasaan campur aduk itu menunjukkan bahwa; betapa relatifnya penilaian kita. Tidak ada yang mutlak dalam soal ini. Kita sudah termasuk orang besar dihadapan kebanyakan orang lain yang belum sesukses kita. Dan kita masih termasuk orang kecil jika dibandingkan dengan orang yang sudah lebih sukses dari kita. Dan. Percayalah. Orang yang kita anggap sukses sekali itu pun mungkin masih sangat kecil dibandingkan dengan orang yang lebih sukses dari dirinya. Sungguh relatif penilaian kita terhadap hidup. Jadi jika demikian, mengapa kita masih sering diombang-ambing oleh perasaan kerdil ketika membaca kisah seseorang yang lebih sukses dari kita?

Lantas, bagaimana dong jalan keluarnya? Piye carane? Begini: mari miliki rasa syukur. Karena hanya rasa syukur yang bisa menimbulkan kecukupan. Tanpa rasa syukur, penghasilan puluhan juta pun tetap saja belum terasa nikmatnya. Tetep saja merasa kurang. Beda sekali dengan saat kita bersyukur. Kita merasa tenteram. Ketika hati kita tenteram, kita bisa menghargai betapa berharganya pekerjaan kita. Ketika kita menghargai pekerjaan, maka kita bersedia mendedikasikan seluruh kemampuan. Ketika mendedikasikan seluruh kemampuan, kita bisa menghasilkan kinerja yang lebih baik. Ketika kinerja kita lebih baik, kita mendapatkan lebih banyak manfaat. Ketika manfaat yang kita dapat lebih banyak, maka pencapaian dan penghasilan kita pun lebih banyak. Ketika penghasilan kita bertambah banyak, kita merasa lebih bersyukur lagi. Dan ketika kita lebih bersyukur. Maka mekanisme runtutan proses tubuh kita akan berulang lagi seperti tadi.

Walhasil. Semakin hari, kita bisa menjadi pribadi yang semakin bersyukur. Semakin menghargai pekerjaan. Semakin berdedikasi pada pekerjaan. Semakin berprestasi dalam pekerjaan. Semakin banyak mendapatkan imbalan. Semakin dilimpahi dengan kegembiraan. Semakin diliputi oleh rasa syukur. Lalu, siklus itu kembali lagi dari awal. Kita semakin bersyukur – semakin menghargai pekerjaan – semakin berdedikasi – semakin berprestasi – semakin menghasilkan – semakin senang – semakin bersyukur. Lalu mulai lagi dengan siklus yang baru. Begitulah mekanismenya.


No comments: